I began my concern from a question, “Guess who invaded earth?”. I’d answer clearly, we do. We, the human, do.
Plenty of birds have been found dead, caused by our street lights. They are confused with the time-line. They are confused to differ the night, and the daylight. Street lights, Café lanterns, and all the flashy-decorations are faking daylight. Now the day is 24hour.
Some decomposers are mutated by water pollution. Some are dead. Some are found as “Monsters of Ancol”. Guess who created the monster? We do. We, the human, do.
Smokes, and all the dangerous exposure of our disposals are killing. A mass murder, indeed. It causes suffocation, clean water crisis, rice shortage, and anything. Deadly enough to kill.
This should be our concern. For we, have proclaimed ourselves, the conqueror of the earth. The only being, smart enough to think. The only being, that have soul, and power of learning. I’m sorry, but we don’t. And even if we does, we’re not using it for greater good. We use it for our personal good. We make a slave to it.
Guess, who invaded earth? We do.
So, now, before it’s too late. We should begin to listen to our awareness, to our conscience, that we have to repay what we have taken from the earth.
We should now stop, the power over-use. Turn off the inappropriate.
Dispose properly. Stop messing with the river. Stop exploitation, and start to appreciate.
Start to conserve. Start to care.
Sebelumnya post tentang puisi, kan?
Aha.
Kali ini tentang musik. Musik Indonesia.
Jika kau menyangka grup musik yang akan dibahas adalah grup musik industri yang seleranya memuakkan, harap maklum.
Ini grup musik indie/independen, jenis yang paling kreatif dalam berkarya.
Ehm.
(Sial, belum sembuh batukku.)
Sore hari adalah waktu yang paling indah untuk mendengarkan musik, di mana lembayung merah di angkasa mampu menggugah setiap sudut gelap batin manusia yang terkalahkan oleh waktu dan memancarkan sinar terang alami di kala hati sedang berharap. Bisa dikatakan bahwa sore hari adalah saat di mana kita melepaskan segala beban yang ada di benak, dan mulai berinteraksi dengan pada yang ada dalam ketenangan jiwa.
Dan berdasarkan atas pemikiran konsep ini serta kecintaan masing-masing personil akan ketenangan petang hari, SORE didirikan sebagai suatu bentuk perwujudan dari lima kawan lama yang telah membina kepercayaan dan animo masing-masingnya untuk bersatu menggabungkan pemikiran dan menuangkan segala jenis beban mereka dalam bentuk musik.
SORE berawal dari perjalanan dasar ketiga personil awalnya, yakni Awan Garnida, Ade Firza, dan Ramondo Gascaro dalam menempuh pendidikan, mulai dari Perguruan Cikini hingga Los Angeles, Amerika Serikat. Awal 1991, Awan Garnida kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya, dan saat itulah dia bertemu dengan Gusti Pramudya.
Pada pertengahan tahun 1996, Ade Firza dan Ramondo Gascaro kembali ke Indonesia, dan bergabung dengan Awan Garnida dan Gusti Pramudya untuk membentuk suatu proyek musik yang dinamakan BAHAGIA. Namun karena harus kembali ke Los Angeles untuk melanjutkan proses belajarnya, Ade Firza meninggalkan mereka, tapi dia memberikan satu konsep lagu yang diberi judul ‘Awan Lembayung’ sebelum berangkat, yang sebelumnya sempat direkam dalam bentuk demo. Lagu inilah yang menjadi awal perjalanan musikalitas dari SORE.
Dan ketika Ade Firza sudah menyelesaikan masa belajarnya, dia kembali bergabung dengan kawan-kawan lamanya, dan juga bertemu dengan satu kawan baru bernama Reza Dwiputranto, yang memegang posisi gitaris. SORE pun lahir sebagai saluran semua ide masing-masing personil, yang bersatu dan membaur dalam bentuk musik pop dengan sentuhan absurd-eclectic.
Ehm.
Dalam album pertamanya yang berjudul Centralismo, yang dirilis oleh Aksara Records, dapat didengar bahwa SORE adalah sebuah band yang unik, di mana selain kelima personilnya semua bernyanyi (dalam arti vokal utama tentunya), masing-masing personilnya juga memiliki karakter yang berbeda, dan ini dapat dilihat dari cara penulisan lagu yang ada. Seperti dalam lagu Lihat, single pertama dari Centralismo, yang ditulis oleh Ade Firza, Ramondo Gascaro, dan Gusti Pramudya. Ketiga ide personil ini bersatu, dan membentuk suatu karakter baru dengan gaya rock jazz retro, dan sentuhan harmonisasi yang bagus. Lain lagi dengan lagu Aku, lagu terakhir dalam album ini. Lagu ini ditulis oleh Reza Dwiputranto, dan hanya dua personil saja yang terlibat dalam proses rekamannya. Jadi, bisa dikatakan juga bahwa SORE adalah sebuah band yang tidak terikat pada norma-norma, tapi memberikan kebebasan kepada masing-masing personil dengan karakter sendiri yang bertanggung jawab. The Jakarta Post menyebut SORE sebagai ‘the best working band in Jakarta and certainly the most interesting’ (The Jakarta Post, October 9, 2005).
Centralismo sendiri adalah sebuah album yang didedikasikan untuk wilayah Jakarta Pusat, di mana memang sebagai besar personilnya dibesarkan dan menimba ilmu. Sebelum Centralismo dibuat, SORE telah merilis satu mini album berjudul Ambang pada tahun 2003 dan tiga single, yakni Etalase (2002), Cermin (2004), dan Funk The Hole (2005). Cermin sendiri masuk dalam kompilasi rilisan Aksara Records, JKT:SKRG, sebuah album kompilasi yang menggambarkan tentang perjalanan musik indie di Jakarta. Sementara itu, Funk The Hole masuk dalam kompilasi OST Janji Joni, masih produksi dari Aksara Records.
Segera setelah merilis album Centralismo, album ini dipilih oleh Time Magazine sebagai salah satu album Asia yang patut dimiliki, ‘It’s an album perfect for those rainy days when all you really want to do is lie back and dream of a simpler time in your life’ (Time, September 12, 2005). Album yang sama jua mendapat penghargaan dari majalah Rolling Stone Indonesia di peringkat 40 dari "150 Album Terbaik Indonesia Sepanjang Masa".
Album "beneran" mereka yang kedua adalah Ports of Lima.
Ports berarti gerbang dan Lima adalah jumlah personil mereka. Album ini adalah gerbang mereka berlima untuk keluar masuk menyentuh jiwa dan pikiran para pendengar mereka dan juga sebaliknya. Kalau album sebelumnya sangat filosofikal, mereka membuat Ports of Lima menjadi lebih personal sesuai dengan filosofi judul album mereka. Dinobatkan sebagai salah satu album Asia yang patut dimiliki versi majalah Time, menjadi trigger buster sendiri dan membuat mereka merasa di jalan yang benar dalam bermusik.
Mereka mengaku adalah penggemar suasana tingkat tinggi. Melihat detail dari setiap peristiwa dan menikmati nuansa yang terjadi menjadi semacam kunci dalam penggarapan musik mereka. Misalnya dalam lagu Bogor Biru yang akan menjadi single terbaru mereka. Ade begitu terpesona pada ke-melankolis-an suasana Bogor saat mendung, ketika setiap tetes hujan seperti jatuh melambat, dan semua orang berjalan sangat pelan. Yang menjadi setting di benak Ade pada saat membuat lagu tersebut adalah museum Zoologi dengan dua orang saling jatuh cinta dan pada alamnya.. Mereka juga mengaku kalau secara mentality mereka mentok di usia SMP. Usia yang menurut mereka adalah masa bermain-main paling menyenangkan, masa transisi dimana kita belum cukup dewasa untuk mengemban sebuah tanggung jawab, tapi juga bukan lagi anak kecil untuk disepelekan. Dengan yakinnya mereka bilang berhenti di usia 15 adalah sindrom semua musisi. “Kalo terlalu serius jadi orang dewasa kita tak akan bisa kreatif” kata Mondo. Ya ya ya, kalian memang anak-anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Karena mereka telah berteman semenjak kecil, menyatukan mood tidaklah terlalu sulit. Masing-masing udah tau tabiat dan kebiasaan masing-masing. “Yang paling susah itu bukan menyatukan mood, tapi menyatukan jadwal! Hahaha” Keluh Mondo yang juga sering menggarap scooring musik buat film.
Ehm.
Pembentukan karakter mereka saat bermusik, dimulai dari mendengar dan jatuh cinta pada lagu-lagu The Beatles yang kemudian menjadi benang merah penyatuan visi mereka. Meskipun waktu SMA musik-musik yang mereka dengarkan cenderung berbeda-beda. Reza adalah anak metal yang suka banget sama Napalm Death, Ade anak britpop pencinta Morissey. Tapi yang paling magis bin ajaib adalah Awan, dia lebih suka mendengarkan lawak-lawak Jawa jaman dulu, semacam Palapa Group dan Surya Group. Menurutnya, musik-musik lawak itu sangat pedih dan sarkastik. Ingin riang tapi sebetulnya hidupnya pahit, dan musik adalah media paling jujur yang bisa merefleksikan perasaan. Mood semacam itulah yang diambil untuk memperkaya musik Sore. Mereka kepengen mempersembahkan realita budaya baru dalam musik mereka. Meski memang musik-musik ‘vintage’ sedang happening, mereka tidak menginginkan untuk terjebak disitu atau di genre tertentu, karena musik mereka jauh lebih rumit dari itu. Seperti halnya budaya Indonesia yang ekletik. Sore berharap dapat mendistribusikan budaya baru Indonesia ini melalui musik mereka. Tampaknya misi itu akan terealisasi pada bulan Maret tahun depan. Mereka bakal tampil di Mozaik Festival, sebuah festival musik Indie internasional di Singapura. Menurut David Tarigan yang ikutan nyempil ngobrol sore itu, Sore itu seperti kumpulan burung imigrasi dari hutan hujan, yang kemudian melewati Britania Raya dan menemukan The Beatles disana, yang merubah pemikiran mereka, kemudian menetap di Montreal saat musim salju, akhirnya karena terlalu dingin mereka pindah ke Asia Tenggara mencari matahari, dan berakhir di Pasar Burung Jatinegara. Hahaha.
Mendengarkan musik mereka bagai mendengar obrolan budaya dan filsafat yang sangat-sangat surealis. Terbukti bahwa musik mereka memang bukan musik instan kacangan, tapi sebuah proses yang rumit dan hmmm..Ekletik!.
Para Pemusik:Bingkisan Digital: Centralismo dan Ports Of Lima
Ade Firza Paloh( Guitar, vocal)
Pecandu musik Morrisey dan The Beatles. Terinspirasi gaya rambut dan gaya hidup "rebel" tahun 50-an, juga seorang sosialis. Kebanyakan lagu SORE adalah buah karyanya. Selain bermusik, dia juga sibuk dalam menulis skrip film pendek, mengoleksi hal-hal yang berbau "army", seperti action figure, pesawat model, dan lain-lain. Sangat menggemari film dan buku, terkenal akan kata-katanya yang berbunyi "humor surreal".
Awan Garnida( Bass, vocal)
Juga pencinta The Beatles( secara sangat antusias), menunjukkan rasa hormat sebesar-besarnya kepada sang legenda dengan bermain musik dengan teman-temannya di grup "G-Pluck Loves To Play The Beatles" sebagai grup musik "tribute to" buatannya sendiri. Karena mempunyai studio musik akustik kecil di ruang tamu rumahnya, Awan dan teman-temannya memutuskan untuk melakukan reuni setiap akhir pekan. Dikenal sebagai "Paul McCartney" saat masih di bangku universitas. Dia juga seorang genius dalam melucu.
Ramondo Gascaro( Piano, synthesizer, vocal)
Yap, yap, yap, darah Jepang mengalir di tubuhnya, seperti yang terlihat pada fotonya barusan. Pria ini mempunyai sebuah keajaiban musikal dalam pikirannya dan juga( ahaha) kamarnya. Dengan begitu janganlah engkau meragukan karya musikalnya. Pecinta dunia perfilman ini membuktikan kebisaannya dalam berproduksi dengan menciptakan video-video klip daripada SORE, yang hasilnya, WOW. Dikenal sebagai intelek yang pendiam dan pemalu, dia memburu buku seperti seorang pecandu heroin.
Reza Dwiputranto( Guitar, vocal) Seorang desainer interior dan pekerja keras. Menulis lagu instropektif dan filosofis paling banyak dalam sejarah SORE. Pernahkah kau menyadari dalam setiap lagunya selalu ada kata yang menggambarkan secara luhur dan jujur "harapan untuk masa depan" yang amat dalam. Kontras dengan sikapnya yang kalem dan tenang, pria yang selalu mempunyai lelucon yang amat-sangat lucu ini bisa membawamu terhanyut dalam pikirannya yang emosional dan super rumit. Hanya jika kau mau, tentunya.
Gusti Pramudya( Drum, vocal)
Dikenal juga sebagai drummer Lain The Band. Memutuskan bergabung dengan SORE karena tertarik dengan konsep "djadoel" yang ditawarkannya. Untuknya, SORE adalah media baginya untuk menaruh semua idenya kemudian hilang dengan mudahnya. Dia memberikan warna baru, unik, dan menarik dalam sejarah musikal SORE. Pria yang easy-going, baru saja menyelesaikan dua lagu dari proyek solo-nya yang menunjukkan komposisi orkestra yang klasik dan suram-nya.
(Klik kanan+Save Link As, karena bentuknya masih .zip, harap di-extract terlebih dahulu.)
ehm, isinya tidak seberat judulnya, koq - -"
Ditemani : Segelas Bolesa dan air putih dalam gelas. - -“
Berulang kali, gagasan ini bolak-balik dipikiran saya. Mungkin karena belum juga dilahirkan. Atau mungkin karena memang wacana-wacana seperti ini yang saya gemari.
Beberapa hari yang lalu saya membicarakannya sedikit dengan guru sejarah saya. Baru-baru saja, saya membicarakannya dengan mama.
Sungguh,
Perihal-perihal terminologi seperti ini selalu membangkitkan kuriosita saya. Terutama jika sudah menyangkut subjektifitas dan membentukan citra dalam masyarakat.
Terserah jika dibilang saya pro komunisme. Toh, saya selalu mencintai segala bentuk paham, koq. Karena setiap paham adalah buah karya pemikiran manusia. Yang tentu mempunyai sebab.
Awal kekesalan saya pada citra komunisme yang beredar adalah di salah satu pelajaran, saat komunis disinggung sebagai satu paham yang negatif. Baiklah, konsep negatif-positif sendiri saja, saya masih bias, koq. Jadi, perihal ini, saya tidak banyak protes.
Sebenarnya, ini juga bukan protes, hanya sedikit berbagi pendapat. Bukan persuasi, apalagi kampanye parpol :p
Bagi saya, satu paham adalah reaksi pemikir dari keadaan lingkungannya. Komunis hadir atas kejenuhan seseorang pada pemerintahan diktator. Tanpa peduli salah atau benar, saya selalu mengkaitkan komunisme dengan kata komune: kelompok orang yang hidup bersama (KBBI). Atau singkat kata, kebersamaan. Orang-orang yang benci kompetisi. Yang menyukai sekuritas dan hidup stabil. Mungkin, ”Makan ga makan, asal ngumpul” termasuk slogan ala komunisme. Yang menjunjung kebersamaan diatas kompetisi. Yang lebih betah sama-sama melarat daripada panik memikirkan cara-cara untuk mengungguli yang lain.
Dan hari ini, saya mendapat jawaban atas pertanyaan, ”Kenapa komunisme dianggap tak ber-Tuhan?”. Mencari jawaban ini, berarti mengkaitkan masalahnya ke kondisi masa ia hadir. Esensi komunisme termasuk kebersamaan. Dan dalam kebersamaan itu, akan miris sekali apabila hanya ”bersama-sama” saudara seiman saja. Karena itu, atas nama kenetralan, komunisme membuka dirinya terhadap semua agama. Plural dan tidak berpihak. Ketidakberpihakan ini juga yang dipandang sinis orang (yang mengaku) beragama. Dan sifat yang tidak terikat tendensi agama ini yang diterjemahkan sebagai tidak ber- Tuhan.